Sabtu, 21 Januari 2012


Yanni Kurniawan
Ponorogo
Jawa Timur

Kirab Pusaka Grebeg Suro 2011

Meski tidak semeriah ‘Kirab Budaya’ yang diadakan di Agustus yang lalu [Hari Jadi Ponorogo]  Kirab Pusaka Kabupaten Ponorogo Kali ini terasa khidmad.
Diawali ziarah Makam Raden Bathoro Katong [Pendiri Ponorogo] sekitar jam 8 pagi di Makam Setono Jenangan [kota lama], dan sekitar pukul 2 siang Kirab di berangkatkan menuju pendopo Kabupaten Ponorogo yang berjarak hampir 5 km-an.
Kegiatan ini merupakan pertanda prosesi kepindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ponorogo. Adapun Pusaka kebanggaan Kabupaten Ponorogo yang diboyong antara lain adalah sebagai berikut : 1. Angkin Cinde Puspito; 2. Payung Songsong Tunggul Wulung; 3. Tumbak Tunggul Nogo.


Event ini mengambil rute dari kota lama (yang sekarang bernama pasar pon) ke barat melewati jl. Batoro Katong, dan di akhiri di depan paseban alun-alun Ponorogo.  Event ini adalah untuk memindahkan benda-benda pusaka dari kota lama untuk di cuci di pendopo kabupaten. Di event Kirab Pusaka ini, semua unsur pegawai pemerintahan mengikutinya. Dengan menaiki dokar yang telah dihiasi dengan sangat rapi, para petinggi pejabat pemerintahan kabupaten Ponorogo ini menyapa para rakyatnya. Selain dari pegawai pemerintahan, Kirab Pusaka ini diikuti oleh seluruh sekolahan yang berada di Ponorogo ini. Dengan dokar, mobil dan murid-murid pilihan yang di dandani begitu ganteng dan cantiknya mereka ikut memeriahkan acara ini.


Di event ini kita bisa melihat begitu indahnya hiasan dokar dan mobil yang bisa diabadikan dengan kamera. Selain itu kita bisa menyapa langsung bapak bupati, wakil bupati dan juga semua jajaran di pemerintahannya. Biasa bapak bupati dan jajarannya membawa berbagai makanan kecil yang akan dibagikan kepada semua pengunjung yang berjajar di pinggir jalan. dan sudah pasti, makanan itu akan menjadi rebutan para pengunjung kirab pusaka ini.


Event ini juga dimanfaatkan bagi kawan-kawan fotografer baik yang sudah lama berkecimpung maupun yang baru saja memegang kamera untuk mengabadikan moment-moment terindah di event tahunan ini. Dan inilah beberapa jepretan dari kawan-kawan fotografer Ponorogo dalam event Kirab Pusaka Grebeg Suro 201 :

Sebenarnya di awal selain Rizal Gibran juga direncanakan Ratna Listy yang akan datang sebagai bintang tamu, namun entah apa sebabnya yang datang hanya Rizal Gibran yang memerankan Raden Bathoro Katong, sedangkan Ratna Listy tadinya akan didaulat memerankan Dewi Songgolangit.








Kakang Senduk  ini merupakan suatu wadah pencarian muda-mudi Ponorogo berbakat yang siap menjadi duta wisata dan wakil Kabupaten Ponorogo untuk menyampaikan promosi pariwisata, menjaga hubungan baik dengan masyarakat ponorogo maupun masyarakat indonesia, serta menjalin persahabatan dengan Duta Wisata dari kabupaten lainnya di Indonesia.

Koleksi Foto Grebeg Suro Ponorogo 2010
























Grebeg Suro Kota Ponorogo




Grebeg Suro Kota Reyog Ponorogo adalah sebuah acara rutin tahunan yang diadakan di alun-alun kota Ponorogo, sebuah kota yang berada sekitar 30 kilometer dari Madiun, arah Pacitan atau Wonogiri. Acara puncak Grebeg Suro adalah pada malam 1 Muharam pada penanggalan Hijriyah. Ritual tahunan ini sudah ada sejak lama, bahkan ketika ibu saya masih anak-anak dan waktu itu masih tinggal di Ponorogo. Apa yang menarik dari acara Grebeg Suro di Ponorogo ini? Mulai dari siang hari, kota Ponorogo yang biasanya lumayan sepi menjadi sangat ramai sekali dengan kedatangan banyak tamu dari luar kota. Bahkan terkadang, mulai pukul 12:00 atau 14:00 sampai besok pagi, maka semua kendaraan dari luar kota sudah tidak diperkenankan untuk memasuki kota Ponorogo. Untuk bisa masuk ke pusat kota atau alun-alun Ponorogo, maka biasanya perlu mencari beberapa jalur tikus sehingga nantinya akan dapat melewati beberapa penjagaan dan berhasil membawa kendaraan bermotor untuk dapat mencapai kota, setelah bisa masuk kota mau kemana-mana sudah bebas kecuali jika terjebak macet. Apakah mungkin kota sekecil Ponorogo juga mengalami kemacetan lalu lintas? tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, ketika ada acara Grebeg Suro maka hampir semua ruas jalan di Ponorogo menjadi penuh sesak dengan banyaknya orang berjalan kaki maupun kendaraan yang berlalu lalang, tanpa saya tahu tujuan mereka. Mungkin saja hanya untuk jalan-jalan menikmati macetnya kota.
Pada saat saya masih muda, hampir setiap tahun ketika acara Grebeg Suro berlangsung di Kota Reyog Ponorogo, akan menyempatkan diri untuk pergi kesana sekedar untuk melaksanakan ritual ngopi dan “melekan” sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang terus ada seperti sumber mata air yang tak pernah kering, bahkan sampai pagi menjelang. Alun-alun kota Ponorogo, sudah pasti penuh dengan lautan manusia, karena memang disitulah tempat dilaksanakannya puncak acara Grebeg Suro, dimana terdapat sebuah panggung yang akan dimeriahkan dengan banyak acara. Acara yang pasti ada dan paling meriah adalah adanya Festival Reyog yang bukan hanya diikuti oleh peserta dari Ponorogo dan sekitarnya, tetapi ada juga peserta dari luar negeri. Bule pun ternyata ada yang bisa memainkan reyog.
Sebelum tahun 1990, orang berjalan kaki dari Madiun atau Wonogiri untuk berhasil mencapai alun-alun Ponorogo masih merupakan pemandangan yang sangat umum dan sangat tidak mengherankan. Tetapi sebagai generasi muda, saya rupanya tidak bisa melestarikan budaya jalan kaki tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor. Padahal saya juga pernah melakukan aksi jalan kaki yang tak kalah jauhnya yaitu ketika mengikuti Napak Tilas Pasukan Siliwangi mulai dari Sarangan sampai dengan Bendo, sebuah desa dibelakang Lanud Iswahyudi, Maospati.
Sesampai di Ponorogo, biasanya saya lanjutkan dengan beristirahat sejenak di rumah Eyang, yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari alun-alun Ponorogo, sekalian untuk nitip sepeda motor. Bahkan ketika pada tahun 1992, saya bersama rombongan datang ke acara Grebeg Suro Kota Reyog Ponorogo dengan naik bus dari Madiun dan sudah berkeputusan untuk tidak mampir ke rumah Eyang, tetapi apa daya setelah “melekan” selama 2 malam, saya pun harus berpisah dari rombongan dan tidur disana selama sehari penuh, baru kemudian bisa kembali ke Madiun sendirian.
Pada saat ada acara Grebeg Suro seperti ini, akan banyak muncul penjual kopi atau makanan kecil dadakan yang menggelar dagangan di halaman rumah mereka masing-masing, dan ini sangat membantu sekali bagi para tamu baik dari luar kota maupun warga Ponorogo sendiri yang ingin menikmati malam 1 Suro di Ponorogo karena kebanyakan warung yang ada di sekitar alun-alun sudah penuh sesak dengan konsumen. Walaupun akan lebih afdol jika “melekan” dilaksanakan di alun-alun Ponorogo sambil menikmati acara yang disajikan diatas panggung, diantaranya adalah Festival Reyog, Musik dan akan ditutup dengan Pagelaran Wayang Wong atau Ketoprak, yang sudah sangat jarang bisa dinikmati secara langsung.
Bagi yang ingin menemukan gadis-gadis cantik sepanjang malam, kemungkinan itu juga sangat terbuka luas, karena pada acara Grebeg Suro Kota Reyog Ponorogo, tidak ada yang tabu ketika ada seorang gadis keluar dari rumah sampai menjelang pagi. Tapi mohon untuk tidak berpikiran mesum atau pikiran negatif lain, ketika bertemu dengan gadis cantik Ponorogo, walaupun mereka keluar pada malam hari sampai menjelang pagi. Bahkan menurut ibu saya, pada saat Grebeg Suro, para gadis yang biasanya hanya ada didalam rumah ketika hari-hari biasa, pada saat ini akan diperbolehkan keluar untuk menikmati udara malam Ponorogo yang sangat meriah.
Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi seperti sekarang, dimana beragam informasi dapat disajikan secara luas melalui internet dan dengan sudah semakin murah koneksi internet, maka saya yakin bahwa Acara Grebeg Suro di Kota Reyog Ponorogo akan semakin meriah dan akan mendatangkan banyak wisatawan yang ingin melihat seperti apa keramaian dan kemeriahan Ponorogo menjelang pergantian Tahun Hijriyah, dan juga keramahanan yang disajikan oleh masyarakat Ponorogo.

REOG PONOROGO dan WAROK



Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.

 
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.
Legenda Cerita Reog
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.


Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.